Mayah Ajang sebuah tradisi yang dilakukan oleh keturunan atau ahli
waris seorang prekangge (bentuk simbolis dari perwujudan para dewa yang masuk
dalam tubuh manusia yang disucikan dalam proses astral), pemangku atau kelian
desa, guna mengembalikan apa-apa yang telah di dapat dari karma desa dalam
rangka memenuhi dan melaksanakan kewajiban. Ajang adalah bentuk sesajen yang
disuguhkan pada roh atau diyakini sebagai para dewa (bethara) yang sebagai
mpunya para sulinggih, atau pemangku, kelian desa, prekangge yang diberikan
setiap selesai pelaksanaan upacara (piodalan)
di pura kahyangan tiga. Apabila yang bersangkutan (pemangku, kelian desa,
prekangge) sudah lebar (meninggal dunia), dan keturunannya tidak ada yang
melanjutkan tugas tersebut, maka diwajibkan untuk mayah ajang, ibarat membayar utang niskala, dari apa yang sudah
diterima oleh leluhurnya dari karma desa pekraman, tetapi apabila hal ini tidak
dilaksanakan maka akan mempengaruhi kesejahteraan bathin bahkan lahir dari
seluruh turunannya. Apakah benar demikian? Dan apakah hal ini sesuai dengan
sastra (tattwa yang ada). Kalau dipahami bahwa ajang itu adalah sebagai utang,
maka kewajibannya adalah membayar utang, akan tetapi kalau sebagai konvensasi
atas tugas yang dilaksanakan atau bahwa yang sebenarnya bukanlah yang
bersangkutan yang mengkonsumsi atau menggunakan ajang tersebut, akan tetapi bala
iringan atau bethara mpunya, maka
sebenarnya bukanlah seseorang ini berutang. Keterkaitan dengan pelaksanaan
tattwa adalah berhubungan dengan hak dan kewajiban, bahwa sesungguhkan tidaklah
secara langsung berhubungan dengan realitas yang dihadapi oleh para
keturunannya. Sejahtera dan tidak sejahtera sebenarnya merupakan bagian dari
sebuah hukum karma yang harus dijalani pada keturunannya, bukan bersangkutpaut
dengan tidak dibayarkannya ajang dari
sebuah kewajiban para leluhurnya. Kondisi dan pemahaman perlu dilakukan
pembenahan dan kembali kepada ajaran yang lebih mendekatkan pada pendekatan
tattwa ataupun kita suci weda, bukan pada tradisi yang dapat dipersepsikan
secara berbeda-beda dan menurut waktu dan kemampuan seseorang. Namun demikian
apabila telah menjadi keyakinan yang dalam bagi karma desa, maka secara arif
para prajuru desa menyediakan fasilitas dan keringanan bagi para keturunan
prekangge, kelian desa dan pemangku tersebut. Karena kalau tidak dibicarakan
dalam tataran kebijakan desa pakraman, tan urun bagi keturunannya berani
merubah atas kewajiban yang dilaksanakan oleh yang bersangkutan. Apakah yang
harus dilaksanakan dalam tradisi membayar
ajang ?. Tradisi ini berjalan di Desa Pakraman Desa Sangket Kelurahan
Sukasada, yang dapat dilaksanakan pada piodalan di Pura Desa. Berikut
dijelaskan pembayaran ajang oleh
Keturunan dari Jro Mangku Gede Sedana dan Salah Satu Pesutri dari Kelompok
Keturunan Sangeh (Dadong Komak) acara di mulai dari matur piuning ke kahyangan
tiga dan merajan soang-soang pada hari Minggu, 4 September 2016 dengan sarana
banten teteg daksina sebanyak 4 buah. Pada acara ngelonggor (di mulainya acara piodalan dengan menabuh gong) seluruh
sarana ajang antara lain: bahan-bahan
yang diperlukan oleh karma desa dalam mepersiapkan acara piodalan, seperti babi
(berat 100 kg) dengan dibungkus kain putih, beras (100 kg), bumbu lengkap (lakar
base) secukupnya untuk mengolah babi tersebut; daun pisang, kayu bakar, kelapa,
sere, busung, selepaan (daun kelapa tua dan muda), dibarengi dengan sesajian
pejati piuning 2 bh (katur ring Ratu Ngurah Pasek dan Dewa Ayu Manik Galih) dan
1 buah pejati di jaba tengah,
pengulapan, pengambean, peras ayaban, perayascita, biakala, durmenggala, segoan
putih kuning. Seluruh sarana ini digunakan untuk mengupacarai atau mensucikan
seluruh bahan-bahan yang ada. Dan dalam prosesi ini jangan lupa mengikut
sertakan leluhur yang akan diwakili membayar ajang dalam bentuk simbolik (Niasa
Hyang atau ampinan) yang diletakkan di Jaba tengah Pura Desa. Setelah proses
pensucian bahan-bahan maka seluruh sarana dilarung dan diarak keliling bale
agung sebanyak tiga kali putaran. Setelah itu seluruh sarana diserahkan kepada
patus desa untuk bahan lakar base dan beras, bahan jejahitan diserahkan pada
tukang banten. Namun babi hendaknya dipotong oleh keturunannya, setelah bersih
baru diserahkan pada patus desa untuk diolah. Niasa nyejer sampai selesai
piodalan, kemudian keesokan harinya pada saat piodalan (munggah canang) dilanjutkan upacara dengan sarana 2 buah suci gede dan
2 pejati katur ring ratu pasek dan dewayu Manik Galih, serta penyacak lan
blayag katur diseluruh pelinggih yang ada di Pura Desa. Keesokan harinya (wayonan) harus disiapkan canang pendetan
minimal 2 buah, dengan demikian seluruh rangkaian proses upacara ini dianggap
selesai. Dalam menyikapi tradisi ini perlu dibicarakan dalam paruman desa,
dengan melihat kondisi krama saat ini, bahwa secara realitas terdapat para
sulinggih, prekangge, maupun prajuru secara ekonomi tidak mampu memenuhi
kewajiban tersebut. Maka diperlukan upaya-upaya yang meringankan kegiatan
tersebut, misalnya dari jumlah yang harus dibayar disesuaikan dengan kemampuan,
bahkan bila perlu ditiadakan karena hal ini dapat dipahami bahwa ajang sebagai bentuk konvensasi dari
tugas yang dilaksanakan leluhurnya bukan sebagai utang, atau bisa dipahami
sebagai persembahan pada dewa yang menjadi iringan leluhurnya, bukan pemberian
pada para leluhurnya yang menjadi kelian desa, prekangge atau pemangku. Penegasan
ini perlu kami sampaikan untuk menjadi bahan perenungan semua pihak, terutama
prajuru, pemuka agama, bahkan pihak-pihak terkait. Sebab tradisi atau budaya
diadakan adalah upaya perjanjian hidup dalam menyelesaikan persoalan khususnya
bidang yadnya pada saat itu, yang ditujukan untuk memperoleh kesatuan makna
yaitu ketertiban masyarakat yang diikat melalui penguatan spiritual dan ikatan
bathin saat itu. Apabila saat ini menjadi persoalan bagi para pelaksana
sekarang, maka budaya ini dapat berubah atau dirubah sesuai dengan keadaan,
waktu dan pokok persoalan yang dihadapi. Terima kasih kita lakukan dan berikan
solusinya agar umat hindu tidak terkungkung dalam belenggu tradisi yang tidak
mampu dilaksanakan dan justru menjadi persoalan bila dipahami dengan benar.
Hindu mengenal keseimbangan yang disebut dengan Trihita Karana : kewajibannya dengan bathinnya (Tuhannya),
kewajibannya dengan sesamanya (pawongan)
yang dapat dimaknai menghargai setiap orang, memajukan pendidikan dan ekonomi
keluarga, hal ini dibutuhkan untuk merintis masa depan yang lebiha baik,
sebagai kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara; palemahan adalah berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup,
sumber-sumber air (danau, sungai, hutan, laut), tanah ibu pertiwi tempat kita
bermukim dan berusaha/bertani. Jika semua terkonsentrasi pada kondisi niskala
maka bagaikan hidup dilangit, dengan kaki tidak menapak di bumi, yang pada
akhirnya juga menghadirkan keterpurukan dan keterbelakangan. “Save Bali Island by right ceremony”
Penari Cendrawasih Pendukung Piodalan di Pura Desa Pakraman Sangket
Galungan Rabu, 7 September 2016