Sabtu, 17 September 2016

Piodalan Pura Dalem Desa Pakraman Sangket 2016

Pengenter Acara : Ngurah Putu Merta
 Susunan Acara Munggah Canang 
1. Nyacak Pengesep Pkl 16.00 wita
2. Mendak ke Pura-pura
3. Mendak Bajra
Melis ke Pura Mengening
Nunas Paica
1. Paica Ajengan
2. Paica wedang

Mendak Ngubeng
Nyacak Penebeng
Nganteb
Persembahyangan Umum Kemanggalain antuk Mangku Dewa ayu
Sesolahan 
Rejang (Nuntun)
Igel Desa Made Sastra Wibawa lan Made Rika
Tari Teruna Jaya
Kebyar Duduk
Mepaider
Ngintarang
Uwar-uwar
Penutup (Parama Santi)
Nyacak Krama Desa

Acara Wayonan
Nyacak Pengesep PK.16.00 wita
Mendak ke:
1. Pura Bukit
2. Pura Desa
Nunas Paica
1. Paica Ajengan
2. Paica wedang
Mendak Ngubeng
Nyacak penebeng
Nganteb/Ngasuh Paica
Ngider Buana
Naur Punagi
Mendet/Pengelebar
Uwar-uwar
Karmaning Sembah
Pemuput (paramasantih)
Nyacak Krama 
Acara Ini diselenggarakan oleh:
Prajuru Desa Pakraman Sangket
 Pemangku Kayangan Tiga, Pemangku Samian Merajan sane wenten di wewidangan Desa Pakraman Sangket, 
Pecalang, 
Teruna Teruni, 
Sekeha Gong Desa Pakraman Sangket,
lan Krama Desa Sinamian
Taler Pendukung dari Sekeha-Sekeha Angklung;
Sekeha Angklung Taman Sari Desa Padang Bulia
Sekeha Angklung Bhakti Kembang Desa Bhatiseraga
Sekeha Angklung Banjar Tegal
Sekeha Gong Sanggar Dwi Mekar Singaraja
Sekeha Santi Dharma Prawerti Desa Pakraman Sangket
Suksma Sareng Sinamian 
dumugi sareng sami mangguhang Kerahayuan tur Labda Karya








Jumat, 09 September 2016

Mayah Ajang Desa Pakraman Sangket ???


Mayah Ajang sebuah tradisi yang dilakukan oleh keturunan atau ahli waris seorang prekangge (bentuk simbolis dari perwujudan para dewa yang masuk dalam tubuh manusia yang disucikan dalam proses astral), pemangku atau kelian desa, guna mengembalikan apa-apa yang telah di dapat dari karma desa dalam rangka memenuhi dan melaksanakan kewajiban. Ajang adalah bentuk sesajen yang disuguhkan pada roh atau diyakini sebagai para dewa (bethara) yang sebagai mpunya para sulinggih, atau pemangku, kelian desa, prekangge yang diberikan setiap selesai pelaksanaan upacara (piodalan) di pura kahyangan tiga. Apabila yang bersangkutan (pemangku, kelian desa, prekangge) sudah lebar (meninggal dunia), dan keturunannya tidak ada yang melanjutkan tugas tersebut, maka diwajibkan untuk mayah ajang, ibarat membayar utang niskala, dari apa yang sudah diterima oleh leluhurnya dari karma desa pekraman, tetapi apabila hal ini tidak dilaksanakan maka akan mempengaruhi kesejahteraan bathin bahkan lahir dari seluruh turunannya. Apakah benar demikian? Dan apakah hal ini sesuai dengan sastra (tattwa yang ada). Kalau dipahami bahwa ajang itu adalah sebagai utang, maka kewajibannya adalah membayar utang, akan tetapi kalau sebagai konvensasi atas tugas yang dilaksanakan atau bahwa yang sebenarnya bukanlah yang bersangkutan yang mengkonsumsi atau menggunakan ajang tersebut, akan tetapi bala iringan  atau bethara mpunya, maka sebenarnya bukanlah seseorang ini berutang. Keterkaitan dengan pelaksanaan tattwa adalah berhubungan dengan hak dan kewajiban, bahwa sesungguhkan tidaklah secara langsung berhubungan dengan realitas yang dihadapi oleh para keturunannya. Sejahtera dan tidak sejahtera sebenarnya merupakan bagian dari sebuah hukum karma yang harus dijalani pada keturunannya, bukan bersangkutpaut dengan tidak dibayarkannya ajang dari sebuah kewajiban para leluhurnya. Kondisi dan pemahaman perlu dilakukan pembenahan dan kembali kepada ajaran yang lebih mendekatkan pada pendekatan tattwa ataupun kita suci weda, bukan pada tradisi yang dapat dipersepsikan secara berbeda-beda dan menurut waktu dan kemampuan seseorang. Namun demikian apabila telah menjadi keyakinan yang dalam bagi karma desa, maka secara arif para prajuru desa menyediakan fasilitas dan keringanan bagi para keturunan prekangge, kelian desa dan pemangku tersebut. Karena kalau tidak dibicarakan dalam tataran kebijakan desa pakraman, tan urun bagi keturunannya berani merubah atas kewajiban yang dilaksanakan oleh yang bersangkutan. Apakah yang harus dilaksanakan dalam tradisi membayar ajang ?. Tradisi ini berjalan di Desa Pakraman Desa Sangket Kelurahan Sukasada, yang dapat dilaksanakan pada piodalan di Pura Desa. Berikut dijelaskan pembayaran ajang oleh Keturunan dari Jro Mangku Gede Sedana dan Salah Satu Pesutri dari Kelompok Keturunan Sangeh (Dadong Komak) acara di mulai dari matur piuning ke kahyangan tiga dan merajan soang-soang pada hari Minggu, 4 September 2016 dengan sarana banten teteg daksina sebanyak 4 buah. Pada acara ngelonggor (di mulainya acara piodalan dengan menabuh gong) seluruh sarana ajang antara lain: bahan-bahan yang diperlukan oleh karma desa dalam mepersiapkan acara piodalan, seperti babi (berat 100 kg) dengan dibungkus kain putih, beras (100 kg), bumbu lengkap (lakar base) secukupnya untuk mengolah babi tersebut; daun pisang, kayu bakar, kelapa, sere, busung, selepaan (daun kelapa tua dan muda), dibarengi dengan sesajian pejati piuning 2 bh (katur ring Ratu Ngurah Pasek dan Dewa Ayu Manik Galih) dan 1 buah pejati di jaba tengah, pengulapan, pengambean, peras ayaban, perayascita, biakala, durmenggala, segoan putih kuning. Seluruh sarana ini digunakan untuk mengupacarai atau mensucikan seluruh bahan-bahan yang ada. Dan dalam prosesi ini jangan lupa mengikut sertakan leluhur yang akan diwakili membayar ajang dalam bentuk simbolik (Niasa Hyang atau ampinan) yang diletakkan di Jaba tengah Pura Desa. Setelah proses pensucian bahan-bahan maka seluruh sarana dilarung dan diarak keliling bale agung sebanyak tiga kali putaran. Setelah itu seluruh sarana diserahkan kepada patus desa untuk bahan lakar base dan beras, bahan jejahitan diserahkan pada tukang banten. Namun babi hendaknya dipotong oleh keturunannya, setelah bersih baru diserahkan pada patus desa untuk diolah. Niasa nyejer sampai selesai piodalan, kemudian keesokan harinya pada saat piodalan (munggah canang) dilanjutkan upacara dengan sarana 2 buah suci gede dan 2 pejati katur ring ratu pasek dan dewayu Manik Galih, serta penyacak lan blayag katur diseluruh pelinggih yang ada di Pura Desa. Keesokan harinya (wayonan) harus disiapkan canang pendetan minimal 2 buah, dengan demikian seluruh rangkaian proses upacara ini dianggap selesai. Dalam menyikapi tradisi ini perlu dibicarakan dalam paruman desa, dengan melihat kondisi krama saat ini, bahwa secara realitas terdapat para sulinggih, prekangge, maupun prajuru secara ekonomi tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut. Maka diperlukan upaya-upaya yang meringankan kegiatan tersebut, misalnya dari jumlah yang harus dibayar disesuaikan dengan kemampuan, bahkan bila perlu ditiadakan karena hal ini dapat dipahami bahwa ajang sebagai bentuk konvensasi dari tugas yang dilaksanakan leluhurnya bukan sebagai utang, atau bisa dipahami sebagai persembahan pada dewa yang menjadi iringan leluhurnya, bukan pemberian pada para leluhurnya yang menjadi kelian desa, prekangge atau pemangku. Penegasan ini perlu kami sampaikan untuk menjadi bahan perenungan semua pihak, terutama prajuru, pemuka agama, bahkan pihak-pihak terkait. Sebab tradisi atau budaya diadakan adalah upaya perjanjian hidup dalam menyelesaikan persoalan khususnya bidang yadnya pada saat itu, yang ditujukan untuk memperoleh kesatuan makna yaitu ketertiban masyarakat yang diikat melalui penguatan spiritual dan ikatan bathin saat itu. Apabila saat ini menjadi persoalan bagi para pelaksana sekarang, maka budaya ini dapat berubah atau dirubah sesuai dengan keadaan, waktu dan pokok persoalan yang dihadapi. Terima kasih kita lakukan dan berikan solusinya agar umat hindu tidak terkungkung dalam belenggu tradisi yang tidak mampu dilaksanakan dan justru menjadi persoalan bila dipahami dengan benar. Hindu mengenal keseimbangan yang disebut dengan Trihita Karana : kewajibannya dengan bathinnya (Tuhannya), kewajibannya dengan sesamanya (pawongan) yang dapat dimaknai menghargai setiap orang, memajukan pendidikan dan ekonomi keluarga, hal ini dibutuhkan untuk merintis masa depan yang lebiha baik, sebagai kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara; palemahan adalah berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup, sumber-sumber air (danau, sungai, hutan, laut), tanah ibu pertiwi tempat kita bermukim dan berusaha/bertani. Jika semua terkonsentrasi pada kondisi niskala maka bagaikan hidup dilangit, dengan kaki tidak menapak di bumi, yang pada akhirnya juga menghadirkan keterpurukan dan keterbelakangan. “Save Bali Island by right ceremony

Penari Cendrawasih Pendukung Piodalan di Pura Desa Pakraman Sangket 
Galungan Rabu, 7 September 2016